Alkisah
pada suatu hari seorang dewa bernama Ameta sedang berburu dan menemukan
babi hutan. Mencoba untuk melarikan diri, babi hutan tersebut tercebur
ke dalam sebuah danau dan mati. Pada taringnya Ameta menemukan sebutir
biji yang dikemudian hari dikenal bernama kelapa. Pada saat itu kelapa
sama sekali tidak dikenal dan belum pernah terlihat di sekitar pulau
Seram dimana Ameta tinggal. Tanpa berpikir panjang, diboyonglah kelapa
itu pulang ke rumahnya. Malamnya, Ameta bermimpi didatangi oleh sesosok
manusia yang menyuruhnya untuk menanam biji kelapa tersebut. Ameta serta
merta segera melakukan apa yang diperintahkan dalam mimpinya itu, dan
ajaib, hanya dalam tiga hari saja pohon kelapa tumbuh subur dan tinggi
menjulang serta mulai berbunga. Ameta segera memanjat pohon kelapa itu
untuk memetik bunganya, namun malang, pada saat memotong, jari Ameta tergores dan darahnya menetes jatuh di kumpulan bunga kelapa.
Tepat
sembilan hari kemudian, di tempat darah itu menetes, Ameta menemukan
seorang gadis cilik yang kemudian diberi nama Hainuwele, yang berarti
Putri Kelapa. Ameta membalut sang gadis kecil dengan daun kelapa dan
membawanya pulang. Ajaib, dalam tiga hari, Hainuwele cilik sudah berubah
menajadi gadis dewasa yang sangat rupawan. Sang Putri ini memiliki
keistimewaan yang sungguh ajaib namun kurang menyenangkan. Keistimewaan
itu adalah setiap sang Putri menunaikan hajat kecilnya, yang dikeluarkan
adalah barang barang yang sangat berharga. Dan Ameta pun menjadi kaya
raya karenanya.
Pada suatu hari, Hainuwele
hadir di sebuah pesta tari rakyat di desa tersebut yang secara
tradisional menjadi ajang seorang gadis untuk memberikan biji kacang
kepada para pemuda. Hainuwele mengikuti acara tersebut, akan tetapi
ketika diminta oleh para pemuda, yang diberikan adalah barang barang
berharga tadi. Setiap hari Hainuwele membagikan barang barang tersebut,
yang semakin hari semakin mahal dan semakin banyak, ada giwang emas,
batu koral beraneka warna, piring porselin yang indah, pisau, kotak
kotak tembaga, dan bahkan sebuah gong yang megah. Namun masyarakat desa
tersebut menilai bahwa apa yang mampu dilakukan oleh Hainuwele adalah
sesuatu hal yang menyeramkan dan berbau sihir jahat. Oleh karena itu,
mereka merencanakan untuk membunuh Hainuwele.
Sebuah
liang kubur pun digali di tengah tengah arena dansa, dan manakala
Hainuwele melintas di dekatnya, bersama sama mereka mendorong Hainuwele
masuk ke dalam lubang tersebut, segera menutupnya dengan tanah dan
menari di atasnya sehingga tanahnya menjadi padat. Hainuwele pun
terkubur hidup hidup.
Keesokan
paginya, Ameta yang tidak mengetahui kemana perginya Hainuwele merasa
sangat kehilangan dan pergi mencari. Segera setelah Ameta mengetahui apa
yang telah terjadi, Ameta dengan hati pedih menggali liang kubur dan
mengangkat jasad Hainuwele dari dalam kubur tersebut, memotong motong
tubuh Hainuwele menjadi bagian kecil dan menguburkannya di sekeliling
pulau tersebut kecuali sepotong tangannya. Di kemudian hari bagian tubuh
Hainuwele yang terkubur tersebut tumbuh menjadi tanaman yang menjadi
bahan pangan utama yang sejak hari itu dinikmati masyarakat Indonesia.
Ameta membawa potongan tangan tersebut ke dewa lainnya bernama Satene.
Satene kemudian menggambar sembilan lingkaran di tanah bekas kuburan
Hainuwele dan berdiri tepat di tengahnya, sementara potongan tangan
Hainuwele dibentuk menyerupai sebuah pintu. Satene kemudian mengumpulkan
para penari dan berujar, “Karena kamu telah dibunuh, Saya tidak akan
tinggal di sini lagi. Saya akan segera meninggalkan tempat ini. Sekarang
kamu dapat ikut dengan saya melalui pintu ini.” Para
penduduk yang mengikuti Satene melalui pintu tersebut tetap menjadi
manusia, sedangkan sisanya yang menolak ikut berubah menjadi berbagai
macam hewan dan roh yang menghuni daerah tersebut. Satene berkata bahwa
sejak kepergiannya, manusia hanya dapat menemuinya setelah mereka mati.
Kemudian Satene pun lenyap dari muka bumi.
Pustaka:
- M.Eliade, Myth and Reality (New York, 1963), pp 104-5; translated and abridged from A.E. Jensen, Das religiose Weltbild einer fruhen Kultur (Stuttgart, 1948) pp.35-8
- Campbell, Joseph, The Masks of God : Primitive Mythology 1959.Jensen, A.E. and Herman
- Niggemeyer, Hainuwele ; Völkserzählungen von der Molukken-Insel Ceram (Ergebnisse der Frobenius-Expedition vol. I), Frankfurt-am-Main 1939