Get Gifs at CodemySpace.com

Sabtu, 22 Oktober 2011

Hainuwele, Sang Putri Kelapa

Sebuah cerita rakyat dari pulau Seram, kepulauan Maluku.


Alkisah pada suatu hari seorang dewa bernama Ameta sedang berburu dan menemukan babi hutan. Mencoba untuk melarikan diri, babi hutan tersebut tercebur ke dalam sebuah danau dan mati. Pada taringnya Ameta menemukan sebutir biji yang dikemudian hari dikenal bernama kelapa. Pada saat itu kelapa sama sekali tidak dikenal dan belum pernah terlihat di sekitar pulau Seram dimana Ameta tinggal. Tanpa berpikir panjang, diboyonglah kelapa itu pulang ke rumahnya. Malamnya, Ameta bermimpi didatangi oleh sesosok manusia yang menyuruhnya untuk menanam biji kelapa tersebut. Ameta serta merta segera melakukan apa yang diperintahkan dalam mimpinya itu, dan ajaib, hanya dalam tiga hari saja pohon kelapa tumbuh subur dan tinggi menjulang serta mulai berbunga. Ameta segera memanjat pohon kelapa itu untuk memetik bunganya, namun malang, pada saat memotong, jari Ameta tergores dan darahnya menetes jatuh di kumpulan bunga kelapa.
Tepat sembilan hari kemudian, di tempat darah itu menetes, Ameta menemukan seorang gadis cilik yang kemudian diberi nama Hainuwele, yang berarti Putri Kelapa. Ameta membalut sang gadis kecil dengan daun kelapa dan membawanya pulang. Ajaib, dalam tiga hari, Hainuwele cilik sudah berubah menajadi gadis dewasa yang sangat rupawan. Sang Putri ini memiliki keistimewaan yang sungguh ajaib namun kurang menyenangkan. Keistimewaan itu adalah setiap sang Putri menunaikan hajat kecilnya, yang dikeluarkan adalah barang barang yang sangat berharga. Dan Ameta pun menjadi kaya raya karenanya.
Pada suatu hari, Hainuwele hadir di sebuah pesta tari rakyat di desa tersebut yang secara tradisional menjadi ajang seorang gadis untuk memberikan biji kacang kepada para pemuda. Hainuwele mengikuti acara tersebut, akan tetapi ketika diminta oleh para pemuda, yang diberikan adalah barang barang berharga tadi. Setiap hari Hainuwele membagikan barang barang tersebut, yang semakin hari semakin mahal dan semakin banyak, ada giwang emas, batu koral beraneka warna, piring porselin yang indah, pisau, kotak kotak tembaga, dan bahkan sebuah gong yang megah. Namun masyarakat desa tersebut menilai bahwa apa yang mampu dilakukan oleh Hainuwele adalah sesuatu hal yang menyeramkan dan berbau sihir jahat. Oleh karena itu, mereka merencanakan untuk membunuh Hainuwele.
Sebuah liang kubur pun digali di tengah tengah arena dansa, dan manakala Hainuwele melintas di dekatnya, bersama sama mereka mendorong Hainuwele masuk ke dalam lubang tersebut, segera menutupnya dengan tanah dan menari di atasnya sehingga tanahnya menjadi padat. Hainuwele pun terkubur hidup hidup.
Keesokan paginya, Ameta yang tidak mengetahui kemana perginya Hainuwele merasa sangat kehilangan dan pergi mencari. Segera setelah Ameta mengetahui apa yang telah terjadi, Ameta dengan hati pedih menggali liang kubur dan mengangkat jasad Hainuwele dari dalam kubur tersebut, memotong motong tubuh Hainuwele menjadi bagian kecil dan menguburkannya di sekeliling pulau tersebut kecuali sepotong tangannya. Di kemudian hari bagian tubuh Hainuwele yang terkubur tersebut tumbuh menjadi tanaman yang menjadi bahan pangan utama yang sejak hari itu dinikmati masyarakat Indonesia. Ameta membawa potongan tangan tersebut ke dewa lainnya bernama Satene. Satene kemudian menggambar sembilan lingkaran di tanah bekas kuburan Hainuwele dan berdiri tepat di tengahnya, sementara potongan tangan Hainuwele dibentuk menyerupai sebuah pintu. Satene kemudian mengumpulkan para penari dan berujar, “Karena kamu telah dibunuh, Saya tidak akan tinggal di sini lagi. Saya akan segera meninggalkan tempat ini. Sekarang kamu dapat ikut dengan saya melalui pintu ini.” Para penduduk yang mengikuti Satene melalui pintu tersebut tetap menjadi manusia, sedangkan sisanya yang menolak ikut berubah menjadi berbagai macam hewan dan roh yang menghuni daerah tersebut. Satene berkata bahwa sejak kepergiannya, manusia hanya dapat menemuinya setelah mereka mati. Kemudian Satene pun lenyap dari muka bumi.
Pustaka:
  • M.Eliade, Myth and Reality (New York, 1963), pp 104-5; translated and abridged from A.E. Jensen, Das religiose Weltbild einer fruhen Kultur (Stuttgart, 1948) pp.35-8
  • Campbell, Joseph, The Masks of God : Primitive Mythology 1959.Jensen, A.E. and Herman
  • Niggemeyer, Hainuwele ; Völkserzählungen von der Molukken-Insel Ceram (Ergebnisse der Frobenius-Expedition vol. I), Frankfurt-am-Main 1939

Tidak ada komentar:

Posting Komentar